Penambahan Wewenang Penyidik dalam UU HPP

wutzkoh / envatoelements

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.

Pada peraturan Pasal 44 ayat (2) UU KUP, Penyidik memiliki kewenangan melakukan penyitaan bahan bukti (dokumen) namun tidak dapat melakukan penyitaan terhadap aset milik tersangka. Sedangkan terdapat pembaruan pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Pasal 44 ayat (2) j yang terletak pada pemberian tambahan kewenangan kepada Penyidik untuk melakukan penyitaan dan/atau pemblokiran aset milik tersangka sebagai jaminan untuk memulihkan KPPN.

Penyitaan tersebut untuk tujuan jaminan pemulihan kerugian pada pendapatan negara dan dapat dilakukan terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak, termasuk rekening bank, piutang, dan surat berharga milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Penyitaan dilakukan oleh penyidik dengan ketentuan sesuai dengan hukum acara pidana, antara lain:

  1. Harus memperoleh izin ketua pengadilan negeri setempat
  2. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, penyidik dapat melakukan penyitaan dan segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Pemblokiran dilakukan dengan melakukan permintaan pemblokiran ke pihak berwenang seperti bank, kantor pertanahan, kantor samsat dan lain-lain.

Categories: Tax Learning

Artikel Terkait